BANTEN | Istilah almarhum Benny Akbar Fatah, sejak reformasi bergulir lalu tergelincir, menurut dia sikap umum para aktivis dan mereka yang ambil posisi sebagai kaum pergerakan di negeri ini seperti sedang "berlomba balap karung". Atau lebih persisnya seperti oplet yang sedang berebut penumpang. Meski targetnya tak pernah jelas untuk apa dan untuk siapa sampai sefemikian heroik diperebutkan.
Karena itu kelompok yang satu sulit untuk dipertemukan dengan kelompok yang lain. Karena masing-masing ingin membangun kerajaan sendiri.
Lalu kerajaan kecil yang sudah susah payah mereka bangun itu, pelan tapi pasti terus menyurut. Seperti lampu minyak yang kehabisan bahan bakar, padahal yang terjadi sesungguhnya hilangnys unsur gas yang tidak pernah dipahami semacam ruh atau jiwa dari daulat bersama yang harus dijaga bersama tanpa pernah abai pada fungsi dan peran yang lain.
Begitulah kisah matahari kembar yang menjadi tahu untuk diceritakan karena dianggap famali untuk dijadikan tajuk bincang secara las-lasan, terbuka dan enteng tanpa beban, mengapa harus begitu famali untuk dibahas sesekali waktu. Sekedar dugaan, mungkin kesulitannya tak ajan seseru Maha Patih Gajah Mada menyatukan bumi nusantara ini dulu. Tapi persatuan dan kebersanaan tetap menjadi semacam mimpi dari sila Pancasila yang sudah berposisi netral, agar semua sila Pancasila yang lain bisa terengkuh untuk diamalkan seperti mantra yang tak kalah ampuh dari warisan leluhur.
Tapi begitulah waktu berganti dari hari menuju hari yang lain, walau sifat utamanya persis seperti siklus, toh yang sudah lewat lebih dominan jadi kenangan belaka. Tapi yang tidak kalah penting dan seru tentu saja hasrat untuk saling menarik masibg-masing pihak agar masuk dalam lingkaran yang telah dibangun dengan pongah guna melestarikan khayalan sendiri, tanpa pernah perduli dengan angan-angan pihak lain. Karenanya, perlakuan untuk menggagahi pihak yang satu sedemikian dominan membentang, seakan mazhab pilihan dirinya lebih layak dan lebih baik dari pilihan mereka yang lain.
Lantaran itu sejak, sejak awal memilih sebagai aktivis, keberadaan pada habitat budaya perlawanan terhadap segala bentuk dan model pemaksaan sudah haris mulai dan disadari dari diri sendiri. Setidaknya tak lagi gandrung memaksakan kehendak sendiri, termasuk dominasi untuk terus pasang omong tanpa pernah bisa dan bersedia mau juga pasang telinga.
Sikap egoistik dan ambisius serupa itu perlu dipasang rem yang pakem. Sevab telah menjadi tabi'at bawaan kaum aktivis keinginan kerasnya acap melampaui batas takaran, selalu mau diatas semua yang ada di atas. Dan dimana-mana yang diteriakkan para aktivis adalah kesalahan, kebrengsekan dan keculasan rezim penguasa yang mengabaikan hak dan kepentingan rakyat. Tapi, toh semua dari istana masing-masing tiada pernah mau bersatu dan melenurkan diri dengan yang lain.
Padahal, slogan bersama kita bisa cuma pebyedap retorika semata, semacam upaya pencitraan dalam narasi lagu lama yang diucapkan dengan gaya heroik, tanpa ruh.
Jadi begitulah kesan perlombaan dari balap karung yang dimaksud pada awal cerita. Seperti sudah menjadi semacam pengetahuan umum tentang maksud dari istilah tidak mungkin ada matahari kembar di jagat ini. Padahal yang pasti seharusnya adalah sepasang matahari dan rembulan. Meski sesekali harus pula membuat gerhana bulan atau gerhana matahari untuk makhluk di bumi.
Dalam sejarah penciptaan matahari dan rembulan pun, masing-masing memiliki fungsi sendiri. Sesekali bersetangkup dalam peristiwa gerhana, namun masing-masing memiliki fungsi dan waktu kekuasaan yang berbeda. Tak ada istilah balapan untuk saling mendahului yang lain. Masing-masing pihak patuh pada lingkaran perjalanan yang telah menjadi kodrat dan iradatnya.
Banten, 14 November 2022
0 Komentar